Kali ini sepertinya tidak omdo lagi, hehe. Sedang berusaha kembali aktif menulis, terutama membuat jurnal untuk jagoan-jagoanku tercinta, sebagai catatan untuk merekam tumbuh kembang mereka.
Bismillahirrahmaanirrahim…
Kali ini sepertinya tidak omdo lagi, hehe. Sedang berusaha kembali aktif menulis, terutama membuat jurnal untuk jagoan-jagoanku tercinta, sebagai catatan untuk merekam tumbuh kembang mereka.
Bismillahirrahmaanirrahim…
Mengunjungi kembali blog lama yang terlantar. Posting terakhir 25 Oktober 2013. Ternyata sudah lebih dari tiga tahun yang lalu. Wow, gumamku pada diri sendiri. Kemana saja ya aku sampai selama itu? Apa yang kulakukan dalam rentang waktu itu hingga tak menyempatkan menulis disini?
Bismillah…
Semoga setelah ini bisa kembali produktif menulis.
But, those who live sometimes can’t accept the necessity of a death. They are not prepared and can’t accept it happening to them or their love ones. But… Read the rest of this entry »
Saat menulis ini, hujan sedang turun dengan derasnya. Alhamdulillah, setelah seharian didera panas yang menguras keringat Allah memberikan berkah kesejukan melalui air langit ini.
Entah kenapa, hujan selalu mengingatkanku pada tiga orang teman terbaikku. Mereka bukan sekedar teman, tapi mereka adalah saudaraku. Ohya, circle kami ini secara sepihak kunamai Semanggi. Kenapa semanggi? Karena aku suka filosofinya dan karena kami berjumlah empat orang. Well, semanggi pada umumnya punya tiga helai daun, yang masing-masingnya melambangkan kepercayaan, harapan, dan cinta. Secara utuh, semangi berdaun tiga melambangkan kebahagiaan. Sedangkan semanggi berdaun empat melambangkan keberuntungan karena ia hanya bisa ditemukan satu di antara seribu. Kupikir itu benar-benar cocok untuk menggambarkan persaudaraan kami berempat.
Kami tak saling mengenal saat pertama kali menjejakkan kaki di kampus tercinta. Dua orang dari tanah Borneo, seorang dari dataran tinggi karst DIY, dan aku sendiri dari salah satu perbatasan Jawa Tengah. Pertemuan kami secara utuh berempat adalah melalui sebuah majelis ilmu yang disebut AAI. Saat pertama kali bertemu, “tak pernah mengira bahwa kita akan sedekat ini”, seperti tulis seorang dari kami di kemudian hari. Dari situ kami semakin sering dipertemukan. “Subhanallah ya, kita bertemu di forum-forum untuk mengingat Allah,” tulis saudariku yang lainnya. Waktu bergulir hingga akhirnya mengamanahkan kami berlabuh di organisasi yang berbeda, dua orang di JMME FEB dan dua orang di SEF UGM. Walaupun pada kenyataannya kami berempat sering beraktivitas bersama mengingat kedekatan kedua organisasi tersebut, dan karena bagaimanapun juga kami tetap merupakan anggota JMME hingga kami lulus dari FEB.
Ah, kembali lagi ke topik hujan. Hujan itu membawa kembali kenangan-kenangan yang kulalui bersama mereka, baik kenangan bahagia maupun yang sedih. Berapa kali kami berlomba dengan hujan untuk sampai di tempat makan? Berapa kali kami harus bergulat dengan hujan untuk mencapai lokasi kegiatan? Atau ketika bersama-sama hunting buku di bookfair saat gerimis menjelang? Ah, atau ketika hujan menjadi saksi saat aku mengantarkan kepergian salah satu saudariku untuk kembali ke tanah seberang? Hujan… pernah kutuliskan juga tentangnya di buku harian salah satu dari mereka.
Buku harian adalah kenangan yang lain tentang mereka. Kami berempat pernah punya buku harian bersama, namun baru beberapa kali berputar, ia hilang dan baru diketemukan sejenak sebelum kami berpisah beberapa bulan silam. Walau demikian, kurang dari dua bulan sebelum perpisahan itu datang, kami menghidupkan kembali program buku harian bersama. Jika dulu satu buku dipakai untuk empat orang, kali ini kami punya buku masing-masing. Buku itu saling dipertukarkan di antara kami. Masih adakah buku harian milik kalian, saudariku? Aku masih menyimpan milikku dan berharap suatu saat kukirimkan pada kalian untuk menagih cerita yang kalian simpan.
Sekarang kita menjalani kehidupan di tempat yang berbeda, bersama orang-orang yang berbeda pula. Namun, semoga Allah mengabulkan doa kita dulu: semoga kita dipertemukan kembali di surga-Nya.
Untuk menutup tulisan ini, kutuliskan lagu favoritku untuk kalian.
Thank you ~ From us to you
Sayonara wo suru mae ni
Before we bid goodbye
Bokutachi kara kimi e
From us to you
Kansha no kimochi ni ma gokoro wo komete
From the bottom of our hearts, we’d like to send
Todoketai yo, kono uta
These feelings of gratefulness, through this song
Kyou, kimi to bokutachi wa
Today, you and us
Ikutsu yume wo mita darou
How many dreams you’ve seen?
Kazu kazu no bamen irunna omoi de
I have many settings, and many thoughts
Zenbu hikari kagayaku with you
All of them will shine with you
Kitto minna no egao ya kizuna ga
Surely, everyone’s smile and this bond
Asu kara no hagemi ni naru yo
Will become tomorrow’s courage
Say goodbye kyou no hi no minna ni
Say goodbye to your today’s sun
Wakare wa mata au yakusokusa
Farewell is a promise that we’ll meet again
Kokoro hitotsu ni naru shunkan wo
The moment when our heart become one
Kasareru tabi ni ai ga umareru
On this long journey, love was born
Say goodbye mata tsugu aerukara
Say goodbye and we’ll meet again
Wakare wa kimi omou jikan sa
Farewell is the time when I think about you
Kokoro hitotsu ni shite itsumademo
Our hearts will always be one
Bokutachi wa tsunagari au
We are all connected to each other
Thank you for your love
Yume no tsuzuki wa taeru koto naku
Keep dreaming is a thing that must always continue
Doko made datte afurete ikuyo
Even when you go nowhere
Say goodbye kyou no hi no minna ni
Say good bye to your today’s sun
Wakare wa mata au yakusokusa
Farewell is a promise that we’ll meet again
Kokoro hitotsu ni naru shunkan wo
The moments when our heart become one
Kasareru tabi ni ai ga umareru
On the long journey, love was born
Say goodbye mata tsugu aerukara
Say goodbye, and we’ll meet again
Wakare wa kimi omou jikan sa
Farewell is the time when I think about you
Kokoro hitotsu ni shite itsumademo
Our hearts will always be one
Bokutachi wa tsunagari au
We all are connected to each other
Thank you for your love
(lyric credit to denisaroseno.blogspot.com)
________________________________________________________________
Dedicated to my Semanggi sisters 🙂
This world could no longer hold you
Yet, along with morning shine I feel you
Through the breeze I hear you
See, I still keep our promise
Moving forward and stay strong
See, I’ve stopped blaming myself
Loving what you left behind
I admired you, dear
For never stop struggling
For being strong against your malady
For choosing to not suffer despite your pain
For showing love and smiles
And for being you
Until the last of your breath
But for now,
Farewell, dear brother
until we meet again (insyaAllah)
And forgive me
And thank you
For everything
I love you
____________________________________________________
Ya Allah, lapangkanlah dan terangilah kubur adikku.
Sedang membaca sebuah e-book yang menarik. Judulnya Satu Tiket ke Surga, versi terjemahan bahasa Indonesia dari buku Life is an Open Secret karya Zabrina A. Bakar. Awalnya tidak terlalu tertarik, hanya iseng untuk sekadar mengisi waktu luang. Eh, begitu baca malah tidak bisa berhenti. Hehe. Baru tahu juga kalau buku ini termasuk buku Best Seller di luar negeri sana. Hmm…
Serius, buku ini sangat bagus dan menarik. Bahasanya sederhana dan terkesan sangat akrab, tapi maknanya luar biasa. Terkesan lebai ya? Hmm, habis baru kali ini, setelah bertahun-tahun, aku menemukan lagi buku yang bisa menawan hatiku sedemikian rupa setelah 7 Habbits of Highly Effective Teen-nya Sean Covey. Lebih keren lagi karena bergenre motivasi Islami, jadi setiap hikmah yang coba digali selalu dikaitkan dengan nilai-nilai Islam, termasuk dua pedoman utama muslim: Al Qur’an dan Hadits, bukan sekadar filsafat pada umumnya.
Buku ini juga asyik dan menghibur. Kenapa? Karena saat membacanya tanpa sadar aku bisa tertawa sendiri, hehe. Cerita-cerita yang ditampilkan dalam buku ini sebagian besar adalah peristiwa dalam kehidupan sehari-hari kita yang terkesan sepele. Mungkin jarang terpikirkan malah. Tapi, sang penulis atau lebih dikenal dengan Sis Zabrina, bisa membuat hal sepele itu menjadi perenungan yang dalam. Beliau (I really respect her) mampu mengajak pembaca untuk memahami firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW dari sudut pandang baru. Terkadang ketika mencoba menggali pelajaran dari suatu hal Sis Zabrina ini juga mengajak pembaca ke dalam imajinasinya yang unik, kadang ‘konyol’ tapi sangat mengena.
Sejauh ini aku baru sampai di halaman 104 dari total 261 halaman. Beberapa hal dari buku ini yang sampai sekarang bergaung di pikiranku misalnya di bagian ketika Sis Zabrina bertanya “Maukah kamu menikah dengan dirimu?” Would you marry yourself? Sebuah pertanyaan aneh, tapi setelah membaca ulasannya, aku jadi ngeh. Ini kata-kata ampuh untuk muhasabah, mengevaluasi diri. Selama ini mungkin kita terlalu sibuk menetapkan standar-standar untuk orang lain, tapi justru lupa untuk menerapkanya pada diri sendiri. Jika kamu ditanya, maukah kamu menikah dengan dirimu, apa jawabanmu? Jika jawabanmu mantap Ya, maka Alhamdulillah dan istiqomahlah, tapi jika masih ragu menjawab “Mungkin” atau justru ekstremnya menjawab “Tidak!”, mari sama-sama berbenah dan memperbaiki diri. Hamasah!
Btw, aku mendapatkan e-book ini sepertinya hasil searching dan gratis, hehe. Jadi, teman kalau ada yang mau ikut baca, tuliskan saja alamat emailmu, insyaAllah aku kirimkan filenya. Mari belajar bersama ^_^
NOTE: Mohon maaf, per Agustus 2014 sudah tidak bisa lagi mengirim file e-book ini karena file-nya berbentuk .exe, dan kebijakan baru Google tidak memperbolehkan attachment e-mail dalam bentuk .exe. Maaf.
Friendship is learning, I heard someone said. I think now I understand what it means. Friendship need you to be an open person, right? By trusting and accepting other people come into our life, even sometimes messing up our business, hehe. In friendship, there are times we fight or encourage each other. It means we will have to learn how to forgive and take care of others.
Friendship is indeed beautiful, but…
Islamic brotherhood is more than wonderful. It’s a miracle.
There is no need for blood or family relation to build it. Everything within it is sweet, no bitterness. You know why? Because ‘iman’ makes those bitternesses tasted sweet, miseries we feel as something we value and cherish. Every single moment in this life becomes meaningful. Every single event happened to us is precious. Every step we take makes us learn something. When you fell you won’t be scared, because there always are brothers and sisters ready to catch you and wake you up. Moreover, that kind of bond will never break as long as we hold on to the faith. It’s not only lasted in this world, but also longer, to the hereafter. ‘Forever’ do comes true in this bond.
That’s why wonderful is not enough to describe Islamic brotherhood.
Akulah lelaki bebas yang telah mengetahui rahasia wujudnya, maka ia pun berseru, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya. Kepada yang demikian itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’
Inilah aku. Dan kamu, kamu sendiri siapa?”
–Hasan Al Banna–
Anak lelaki itu masih sibuk saat kujumpai pada suatu hari. Di tangannya ada busi sepeda motor bekas. Di sekitarnya berserakan berbagai peralatan: paku, palu, gergaji besi, tali raffia, dan karet pentil. Kubiarkan ia asyik dengan ‘mainannya’. Dia memang masih anak-anak. Bermain tetap menjadi kesukaannya. Setelah beberapa hari, busi bekas itu sudah berubah rupa. Dia tunjukkan padaku dengan senyum bangga, “Petasanku sudah jadi.” Oh, rupanya dia memang sedang menciptakan mainan. Busi bekas itu ia alihfungsikan. Dia peragakan padaku bagaimana memainkannya. Diambilnya beberapa batang korek api, lalu ia sisir kepala koreknya hingga bubuk-bubuk itu memenuhi ruang dalam busi. Diatas bubuk itu ia selipkan secuil kertas yang berasal dari sisi samping bungkus koreknya (yang kita gesek untuk menyalakan korek). Busi itu ditutup dengan sekrup. Dia mengambil ancang-ancang untuk melempar busi itu ke jalan aspal depan rumah. Lalu… DUAR!!! Suara ledakan petasan pun terdengar. Beberapa hari kemudian ia kembali memamerkan mainan barunya. Ia membopong sebatang bambu utuh. Mau dibuat apa? “Long bumbung,” jawabnya. Oh, lagi-lagi harus geleng kepala. Dasar anak lelaki!
Suatu hari ia memamerkan padaku handphone barunya. HP bekas sebenarnya, model yang sangat jadul, bermerk Ericson (ini HP edisi sebelum Ericson diakuisisi Sony lalu berubah jadi Sony Ericson). Penasaran, bagaimana dia bisa memakai alat itu? Sebelumnya dia memang sering bermain dengan ponselku yang bermerk S***sung jadul. Dia bisa mengoperasikannya dengan menggunakan kode angka. Misal mau menulis SMS, maka dia hanya perlu menekan tombol menu-2-1 lalu menulis pesannya. Pun jika ingin masuk ke menu-menu lain, kode angkalah yang ia perlukan. Ternyata ponselnya itu juga bisa dioperasikan dengan cara demikian. Maka mulailah ia memintaku memberitahu urutan-urutan menu dalam ponselnya. Dalam waktu singkat, ia hafal semuanya. Semenjak itu, tak heran jika waktu-waktu tertentu dia mengirimiku pesan singkat, sekedar iseng atau memang ada yang ingin ia sampaikan. Bagaimana ia tahu yang mana nomer ponselku di phonebooknya? Simpel. Dia tidak tahu. Ia menghafalkan nomor telepon banyak orang, bahkan nomor-nomor yang ia dengar di radio. Tak heran jika kemudian beberapa tetangga kadang bertanya padanya nomor tempat ini atau nomor stasiun radio tertentu. Daya ingatnya cukup membuatku terkesima.
Setiap hari ia memberiku kejutan-kejutan baru. Setiap berjumpa selalu ada saja yang ia kerjakan. Ia tunjukkan padaku bahwa ketidaksempurnaan indera bukanlah penghalang untuk berkarya. Dari tangannya telah banyak yang dihasilkan. Karya-karya kecil yang menunjukkan betapa istimewanya ia. Bahkan sampai kini, di rumahnya dan rumah orang-orang di sekitarnya, berbagai karyanya masih setia menanti usia. Semoga menjadi amal jariyah baginya.
…bersambung…
_____________________________________________________________________________________
A tribute to my dear little one.
Di hari yang lain, kulihat ia memegang gergaji dan bilah bambu panjang. Jarinya meraba-raba tanda yang ia buat di bilah bambu, lalu dengan perlahan ia menggesekkan gergaji itu hingga sang bilah pun terpotong. Bilah itu kemudian ia belah lagi menggunakan parang menjadi bilah-bilah kecil. Tangannya dengan terampil mengikat bilah-bilah itu dengan karet hingga berbentuk bujur sangkar. Kali ini rupanya ia sedang membuat sebuah kandang jangkrik.
Pada perjumpaan yang lain lagi ia terlihat sedang mendorong sepeda anak-anak beroda tiga. Di atas sepeda itu duduk seorang kanak-kanak, sepupunya. Anak lelaki itu tertawa riang, dengan senangnya ia menjadi tenaga pendorong sepeda agar bisa meluncur di jalan.
Kesempatan yang lain aku menyaksikannya sedang khusyuk mendengarkan siaran radio. Diam-diam aku ikut mendengarkan. Ternyata sedang ada bincang-bincang tentang kesehatan di radio itu, menghadirkan seorang tabib pengobatan alternatif. Wajah anak lelaki itu sangat berbeda dari biasanya. Dia takzim, tampak sangat serius dan sesekali mengangguk seolah memberi tanda bahwa ia baru saja memahami hal baru.
Dalam setiap perjumpaan itu, aku bertanya padanya. Mengapa ia berbuat demikian? Jawaban-jawabannya yang sederhana mampu menggetarkan hatiku.
“Biar motornya jadi kelihatan bagus buat bapak kerja,” jawabnya sambil mengelap motor.
“Saya mau memelihara jangkrik, jadi harus buat kandangnya. Bapak sudah capek kerja, jadi saya buat sendiri aja,” tuturnya polos.
“Cuma dia teman main saya, teman-teman seusia saya pada sekolah,” ada gurat sedih di wajahnya.
“Saya kagum sama tabibnya. Nanti kalau saya sudah sembuh, saya juga mau jadi tabib, biar bisa nolong orang miskin yang sakit,” ia tersenyum penuh harap.
Usai bertemu denganku, ia beranjak pergi. Langkah kakinya terseret, pelan dan hati-hati. Sesekali tangannya meraba mencari pegangan. Aku memandangnya penuh iba.
Apa yang dilakukannya memang hal biasa. Biasa, bagi anak normal dengan lima panca indera. Itulah mengapa kusebut dia luar biasa. Anak lelaki itu telah kehilangan penglihatannya. Ia buta sejak berusia delapan tahun. Dalam kegelapan dunianya, ia masih mampu memancarkan cahaya. Di mata orang, mungkin dia hanya anak kecil malang. Bagiku, dialah inspirator sejati.
SEF, Shariah Economics Forum, UGM. Organisasi pertama yang menarik minatku ketika menginjakkan kaki di kampus ini. Pertama kali pula dalam hidupku, untuk menjadi anggota organisasi harus menitikkan air mata, menangis saat wawancara. Kesan pertama saat wawancara penyeleksian calon anggota baru SEF: so comfort. Melihat orang-orang yang berkecimpung di dalamnya memberikan kenyamanan, somehow. Itulah kenapa aku kecewa dan sedih ketika terpaksa cuti dari segala aktivitas di luar kuliah di semester pertamaku. But Allah always Knows the best. RUpanya Ia sedang mempersiapkan rencana yang lebih baik untukku. Read the rest of this entry »
Cinta… satu kata yang tak lekang oleh masa. Orang bilang cinta itu tak bisa didefinisikan. Cinta itu tak harus memiliki. Cinta itu kadang membutakan, membuat orang tak bisa membedakan mana benar mana salah. Cinta itu katanya tak harus dikatakan, cukup ditunjukkan. Cinta tak harus dideklarasikan, cukup dibuktikan. Itu kata orang.
Menurutku… Read the rest of this entry »
Si penjaga menjawab, “Kalau kau tidak punya uang, kau tidak boleh masuk”. Ibrahim memekik dan tersungkur ke tanah sambil terisak sedih. Seorang pejalan kaki berhenti untuk menghiburnya. Seseorang menawarinya uang agar ia dapat masuk tempat mandi umum itu.
Ibrahim bin Adham berkata, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk. Ketika penjaga itu meminta ongkos masuk aku teringat sesuatu yang lalu membuatku menangis. Jika aku tidak diizinkan masuk ke tempat mandi umum di dunia ini kecuali jika aku membayar ongkos, apa ada harapan bagiku untuk diperbolehkan masuk surga? Apa jadinya aku kalau mereka menuntut ‘Amal baik apa yang kau bawa? Apa yang sudah kau perbuat hingga kau layak diizinkan masuk surga?’ Persis seperti aku ditolak masuk tempat mandi ini karena aku tidak bisa membayar, sudah pasti aku akan ditolak masuk surga jika aku tidak punya amal baik. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Semua yang mendengarkan pun merenungkan hidup dan amalan mereka sendiri dan mereka mulai menangis bersama Ibrahim bin Adham.
_______________________________________________________________________________________
Sebuah cerita dalam buku “Love is The Wine” karya Syeikh Muzaffer Ozak yang dinukil oleh Zabrina A. Bakar dalam bukunya “Satu Tiket ke Surga”.
“Allah Teaches us something by some unforgettable ways. Thus, He Gives me this experience, so many times, that it hurts. Because being hurt is one of the way I will never forget. Because of experiencing pain will never allow me to make others feel the same. In these tears, I found Your Love. Thank You, Allah. Thank You for this week’s experiences. Alhamdulillahirabbil’aalaamiin.”
Pelajaran dari Allah pekan ini: Manajemen waktu untuk menepati janji.
___________________________________________________________________
Terima kasih ya Rabb, Engkau masih Mengingatkanku. Segala puji hanya untuk-Mu.
Aku sudah hampir lupa dengan isi surat-surat itu. Ketika kubaca lagi satu demi satu, ada buncahan rasa yang hadir menyeruak: haru, lucu, sendu, dan… rindu. Ah, mereka kini sudah melangkah bersama pilihan mereka masing-masing. Bangga, ketika kutahu sebagian besar mereka aktif di organisasi, menjadi petinggi, dan berprestasi…
Di setiap surat itu ada ucapan terima kasih, dengan gaya ciri khas mereka masing-masing.
Aku tersenyum mengingat masa-masa itu. Jadi ingat bagaimana mendampingi mereka yang ribut membuat tugas, potong ini itu, menggambar berbagai pola, menghafal lagu-lagu serta gerakan tarimya, sampai pusingnya mengajari beberapa dari mereka password yang dibuat dalam bahasa Jawa 3 bait dengan kata-kata yang ruwet.
Masih ingat juga waktu harus pasang tampang garang saat mengingatkan mereka shalat. Haha, masih jelas juga peristiwa ektrem di salah satu pagi beberapa tahun silam, ketika jam setengah 5 pagi diperintahkan harus standby di kampus dan ternyata sampai kampus portal belum dibuka. Nekat akhirnya mengendarai motor naik ke trotoar lalu menyisip ke celah-celah pangkal portal.
Really, those were unforgettable moments.
Masih ingatkah kalian dengan masa-masa itu, wahai:
Samudera Pasai: Novita, Mayang, Devi, Almas, Yani, Marwah, Rachmat, Erie, Aryo, Iboy, Vano, Arief, Khresna, Steven, dan partner pemanduku Handishna Hasfi, serta
Kalbe Farma: Mita, Gita, Lisa, Nida, Eni, Ninggar, Anto’, Udin, Anas, Nanang, Nidzar, Andi, dan partnerku Edo.
Selamat berjuang, adik-adik kebangganku: Samudera Pasai dan Kalbe Farma!
Muslim itu harus kaya. Artikel yang bagus nih…
Ketika Abu Bakar ra. berkeinginan membebaskan Bilal ra. dari perbudakan, Umaiyah bin Khalaf mematok harga 9 uqiyah emas. Dan dengan segera Abu Bakar ra. langsung menebusnya.
Untuk diketahui 1 uqiyah emas senilai 31,7475 gr gram emas, atau setara dengan 7,4 dinar emas. Jika harga 1 dinar emas sekarang adalah sebesar Rp. 2.370.000, berarti dana yang dikeluarkan Abu Bakar ra. adalah sebesar (9 x 7,4 x Rp. 2.370.000 ) atau Rp. 157.842.000,-
Para Milyuner di sekitar Rasulullah
Beberapa Sahabat Rasulullah, berdasarkan catatan sejarah yang di-indikasikan sebagai Konglomerat, antara lain :
1. Abu Bakar ra.
Ibnu Umar ra mengatakan diawal keislaman Abu Bakar menghabiskan dana sekitar 40.000 Dirham untuk memerdekakan budak. Jika harga 1 Dirham Perak saat ini adalah Rp. 67.500, itu artinya yang dibayar oleh beliau setara dengan Rp 2,7 Miliar.
2. Umar bin Khaththab ra.
Di dalam Kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, karangan Ibnu Abdil Barr, menerangkan bahwa Umar…
Lihat pos aslinya 589 kata lagi
“Taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. ”
pkspiyungan.org(Jumat,05 Oktober 2012)
RASANYA perbincangan kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana “mengelola” ketidaksetujuan itu?
Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk.
Read the rest of this entry »
1. Menguasai bahasa Arab, Latin, Turki, dan Persia
2. Menguasai Al-Qur’an, Injil, dan Taurat
3. Menguasai Ilmu Syariat
4. Menguasai Ilmu Alam, Matematika, dan mampu mengajarkannya
5. Pandai menunggang kuda, bermain pedang, dan berperang
6. Berpenampilan menarik
7. Bersuara indah.
Inilah format iklan untuk jabatan imam masjid, pada kurang lebih 400 tahun lalu. Kita mencatat bahwa syarat-syarat yang dicantumkan dalam iklan tersebut —walaupun sangat sulit, bahkan mustahil dipenuhi untuk ukuran sekarang— kala itu merupakan syarat yang biasa dan wajar. Islam ketika itu tengah mencapai masa puncak kejayaannya. Tak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum; tidak ada pemisahan antara ulama dan mujahid.
Dalam catatan sejarah ini terlihat bahwa jabatan imam masjid adalah jabatan prestisius karena peranan yang harus dimainkan sangat penting dalam penyebaran dakwah. Bila masyarakat Islam kita umpamakan dengan satu tubuh, maka sel tubuh pertama yang menjadi inti kehidupannya adalah masjid. Perhatian kaum muslimin terhadap masjid selalu ada sepanjang sejarah keemasan Islam. Kekuatan ruhani yang terpancar dari masjid itulah kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan inilah yang membentuk akal dan perasaan mereka sepanjang masa.
(dikutip dengan sedikit penyesuaian dari buku “Bagaimana Menyentuh Hati” karya Abbas As-Siisi, versi terjemahan dari “Ath-Thariq ila Al-Quluub” )
__________________________________________________________
Iseng menyalin catatan Facebook lama 😀
Metode yang sama dipraktikkan di tempat lain, Abu Raja’ al-Ataradi menyatakan bahwa Abu Musa al-Ash’ari membagikan murid-murid ke beberapa kelompok di dalam Masjid Basra, dalam bimbingannya yang hampir mencapai 300 orang.
Di ibu kota, `Umar mengutus Yazid bin ‘Abdullah bin Qusait untuk mengajar AI-Qur’an di kalangan orang Badui, dan melantik Abu Sufyan sebagai inspektur untuk suku mereka agar mengetahui sejauh mana mereka sudah belajar.”
Keren ya! Tidak heran jika kemudian Islam mampu memayungi hampir 2/3 dunia dan bersinar saat Eropa mengalami Zaman Kegelapan. Yuk, bergabung dengan MLM pahala yang murni syariah ini… caranya gimana? Membina!
(Kisah di atas dikutip dengan penyesuaian yang diperlukan dari Sejarah Teks Al Quran, terjemahan dari The History of The Qur’anic Text karya Prof. Dr. M.M. al A’zami)
_______________________________________________
Iseng menyalin catatan Facebook yang pernah kubuat 🙂
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya…”
I used to think that I would be happy
If only I was like them
Grab anything I want
Become whoever I wanna be
Walking through every road I desire
Talking to everyone whom I am interested to
Yet, deep inside this heart of mine
I realize those were just lies
Those were anyone’s life but me
Being comfortable is surely great
But comfortable not always mean happy
Because of ways that created the me now
were rough battles
were long and difficult roads
were waves that shake me out
were jungles and deserts that hard and unpredictable
This is the way I am
Being happy just means that I’ve to stop lying
To my own self…